31.1 C
Jakarta
30 April 2024, 10:20 AM WIB

Merengek Minta Bebas Ke Hakim karena Umur 40 Tahun Belum Pernah Nikah

Sidang kasus korupsi dana hibah pengadaan bibit sapi Kelompok Tani Sari Amerta, Desa Carangsari, Petang, Badung, berlangsung menarik.

Ini setelah terdakwa I Made Suweca meminta dibebaskan dengan alasan yang unik. Salah satunya karena terdakwa belum menikah hingga umurnya mencapai 40 tahun.

 

MAULANA SANDIJAYA, Denpasar

 

Ada berbagai alasan dan pertimbangan yang diajukan kuasa hukum, agar terdakwa bisa mendapat keringan pasca dituntut pidana penjara selama 3,5 tahun.

 “Terdakwa adalah anak yatim piatu yang belum menikah,” ujar I Ketut Doddy Arta Kariawan, penasihat hukum terdakwa di Pengadilan Tipikor Denpasar, Selasa (2/4) lalu.

Dalam pledoi setebal 17 halaman itu, terdakwa juga mengajukan alasan selama persidangan bersikap sopan dan jujur memberikan keterangan. Selain itu, terdakwa belum pernah dihukum.

“Dan terdakwa tidak pernah sekolah sehingga tidak mempunyai kemampuan membaca dan menulis,” imbuh pengacara yang juga belum menikah itu.

Menurut Doddy, terdakwa tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana yang didakwakan jaksa penuntut umum (JPU) Kejari Badung.

Yang menarik, Doddy menyebut ada PNS dan anggota dewan Badung di balik kasus Suweca. Terdakwa yang tidak bisa baca dan tulis itu hanya dijadikan alat saja. Namun, Doddy dan tidak mau mengungkapkan identitas PNS dan anggota dewan itu.

Karena itu, lanjut Doddy, sudah sepatutnya terdakwa dinyatakan tidak terbukti. Doddy meminta majelis hakim menyatakan terdakwa Suweca tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b UU Tipikor (dakwaan primer) dan Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor (dakwaan subsider).

Serta membebaskan terdakwa dari tuntutan hukuman membayar denda Rp 127.350.000 subsider satu tahun penjara, dan membebaskan terdakwa membayar denda Rp 50 juta subsider tiga bulan penjara.

“Maka sudah sepatutnya terdakwa I Made Suweca dibebaskan dari semua tuntutan. Memerintahkan kepada jaksa penuntut umum untuk mengeluarkan terdakwa dari dalam tahanan. Atau apabila majelis hakim berpendapat lain, kami mohon putusan yang seringan-ringannya dan seadil-adilnya,” tandas Doddy.

Lebih lanjut, di luar ruang sidang Doddy dan terdakwa masih bungkam dan tidak mau menyebut siapa sosok PNS dan anggota dewan yang membuatkan proposal dan memfasilitasi hibah.

Keduanya memilih bungkam.

Sementara itu, dalam sidang sebelumnya JPU Luh Heny F. Rahayu dan Windari Suli menuntut terdakwa pidana penjara 3,5 tahun dan denda Rp 50 juta subsider tiga bulan penjara. “Membebankan terdakwa membayar uang ganti rugi Rp 127.350.000. Jika tidak maka harta bendanya dilelang. Jika harta bendanya tak mencukupi, maka diganti satu tahun penjara,” tuntut JPU.

Siapakah anggota dewan itu? Suweca memilih merahasiakannya. Namun, suatu saat nanti jika sudah saatnya akan diungkap. Ditambahkan Suweca, anggota dewan tersebut yang menawari dirinya mengajukan proposal dana hibah. Bahkan, anggota dewan tersebut juga menyatakan siap membantu.

Sesuai surat dakwaan, dugaan korupsi itu terjadi dalam pengelolaan dana hibah untuk kelompok ternak yang dipimpin terdakwa pada tahun anggaran 2018. Perkara ini berawal dari permohonan bantuan hibah yang diajukan terdakwa kepada Bupati Badung.

Permohonan hibah tersebut disampaikan dalam bentuk proposal dengan tujuan membeli bibit sapi untuk dikembangkan oleh anggota kelompok. Sesuai rancangan anggaran biaya (RAB) yang diajukan dalam proposal itu nilainya mencapai Rp 226.850.000.

“Proposal tersebut juga disertai dengan berita acara rapat tertanggal 30 Januari 2017 yang ditandatangani 13 orang. Tiga di antaranya berstatus pengurus. Mereka antara lain I Made Suweca (terdakwa) selaku ketua, I Wayan Miasa selaku sekretaris, dan Kadek Pura Adi Sanjaya selaku bendahara,” beber jaksa.

Belakangan diketahui bahwa berita acara yang tercantum dalam proposal itu fiktif. Karena kesepuluh orang yang tercantum dalam berita acara itu mengaku tidak pernah menjadi anggota. Kendati demikian, proposal tetap diajukan. Verifikasi pun kemudian dilakukan oleh tim hingga muncul rekomendasi bahwa kelompok yang dipimpin terdakwa memenuhi syarat sebagai penerima hibah. Hanya saja, nilai bantuan yang direkomendasikan tim verifikator dibatasi sebesar Rp 200 juta.

Meski tidak sesuai dengan RAB yang diajukan, hibah tetap diurus terdakwa. Sampai akhirnya dia mencairkan dana hibah itu di rekening kelompok ditemani bendahara. Dana itu kemudian dikuasai terdakwa. Dia juga mulai melakukan pembelian bibit sapi dan perbaikan kandang.

Dalam perjalanannya, terdakwa membuat Laporan Pertanggungjawaban dengan Nomor : 04/SBR/IV/2018 tertanggal 4 April 2018. Dalam laporan itu, intinya dia menegaskan bahwa dana hibah sebesar Rp 200 juta sudah dipergunakan sesuai Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) dengan melampirkan bukti-bukti pengeluaran dan sejenisnya.

Dugaan korupsi baru muncul setelah ada evaluasi lapangan yang dilakukan Bidang Peternakan Dinas Pertanian dan Pangan Badung pada 7 Agustus 2018. Hasil evaluasi mendapatkan kondisi sapi-sapi yang dimiliki kelompok ternak pimpinan terdakwa tidak sesuai dengan yang dilaporkan.

“Dalam laporan disebutkan 20 ekor namun yang ada hanya sepuluh ekor. Dari sepuluh ekor itu, dua diantaranya sesuai RAB dan memenuhi Standar Teknis Peternakan berupa Standard Nasional Indonesia (SNI) Bibit Sapi Bali. Sedangkan delapan ekor sisanya berupa anakan,” ungkap jaksa dalam sidang sebelumnya.

Selain itu, hasil evaluasi terhadap laporan juga mendapatkan adanya selisih nilai penggunaan dana pada perbaikan kandang sebesar 8,5 juta lebih. Padahal dalam laporan disebutkan perbaikan kandang menghabiskan biaya sebesar Rp 20 juta. “Sementara nilai riil perbaikan kandang sesuai bukti pengeluaran sebesar Rp 11,4 juta,” imbuh jaksa.

 

Sidang kasus korupsi dana hibah pengadaan bibit sapi Kelompok Tani Sari Amerta, Desa Carangsari, Petang, Badung, berlangsung menarik.

Ini setelah terdakwa I Made Suweca meminta dibebaskan dengan alasan yang unik. Salah satunya karena terdakwa belum menikah hingga umurnya mencapai 40 tahun.

 

MAULANA SANDIJAYA, Denpasar

 

Ada berbagai alasan dan pertimbangan yang diajukan kuasa hukum, agar terdakwa bisa mendapat keringan pasca dituntut pidana penjara selama 3,5 tahun.

 “Terdakwa adalah anak yatim piatu yang belum menikah,” ujar I Ketut Doddy Arta Kariawan, penasihat hukum terdakwa di Pengadilan Tipikor Denpasar, Selasa (2/4) lalu.

Dalam pledoi setebal 17 halaman itu, terdakwa juga mengajukan alasan selama persidangan bersikap sopan dan jujur memberikan keterangan. Selain itu, terdakwa belum pernah dihukum.

“Dan terdakwa tidak pernah sekolah sehingga tidak mempunyai kemampuan membaca dan menulis,” imbuh pengacara yang juga belum menikah itu.

Menurut Doddy, terdakwa tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana yang didakwakan jaksa penuntut umum (JPU) Kejari Badung.

Yang menarik, Doddy menyebut ada PNS dan anggota dewan Badung di balik kasus Suweca. Terdakwa yang tidak bisa baca dan tulis itu hanya dijadikan alat saja. Namun, Doddy dan tidak mau mengungkapkan identitas PNS dan anggota dewan itu.

Karena itu, lanjut Doddy, sudah sepatutnya terdakwa dinyatakan tidak terbukti. Doddy meminta majelis hakim menyatakan terdakwa Suweca tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b UU Tipikor (dakwaan primer) dan Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor (dakwaan subsider).

Serta membebaskan terdakwa dari tuntutan hukuman membayar denda Rp 127.350.000 subsider satu tahun penjara, dan membebaskan terdakwa membayar denda Rp 50 juta subsider tiga bulan penjara.

“Maka sudah sepatutnya terdakwa I Made Suweca dibebaskan dari semua tuntutan. Memerintahkan kepada jaksa penuntut umum untuk mengeluarkan terdakwa dari dalam tahanan. Atau apabila majelis hakim berpendapat lain, kami mohon putusan yang seringan-ringannya dan seadil-adilnya,” tandas Doddy.

Lebih lanjut, di luar ruang sidang Doddy dan terdakwa masih bungkam dan tidak mau menyebut siapa sosok PNS dan anggota dewan yang membuatkan proposal dan memfasilitasi hibah.

Keduanya memilih bungkam.

Sementara itu, dalam sidang sebelumnya JPU Luh Heny F. Rahayu dan Windari Suli menuntut terdakwa pidana penjara 3,5 tahun dan denda Rp 50 juta subsider tiga bulan penjara. “Membebankan terdakwa membayar uang ganti rugi Rp 127.350.000. Jika tidak maka harta bendanya dilelang. Jika harta bendanya tak mencukupi, maka diganti satu tahun penjara,” tuntut JPU.

Siapakah anggota dewan itu? Suweca memilih merahasiakannya. Namun, suatu saat nanti jika sudah saatnya akan diungkap. Ditambahkan Suweca, anggota dewan tersebut yang menawari dirinya mengajukan proposal dana hibah. Bahkan, anggota dewan tersebut juga menyatakan siap membantu.

Sesuai surat dakwaan, dugaan korupsi itu terjadi dalam pengelolaan dana hibah untuk kelompok ternak yang dipimpin terdakwa pada tahun anggaran 2018. Perkara ini berawal dari permohonan bantuan hibah yang diajukan terdakwa kepada Bupati Badung.

Permohonan hibah tersebut disampaikan dalam bentuk proposal dengan tujuan membeli bibit sapi untuk dikembangkan oleh anggota kelompok. Sesuai rancangan anggaran biaya (RAB) yang diajukan dalam proposal itu nilainya mencapai Rp 226.850.000.

“Proposal tersebut juga disertai dengan berita acara rapat tertanggal 30 Januari 2017 yang ditandatangani 13 orang. Tiga di antaranya berstatus pengurus. Mereka antara lain I Made Suweca (terdakwa) selaku ketua, I Wayan Miasa selaku sekretaris, dan Kadek Pura Adi Sanjaya selaku bendahara,” beber jaksa.

Belakangan diketahui bahwa berita acara yang tercantum dalam proposal itu fiktif. Karena kesepuluh orang yang tercantum dalam berita acara itu mengaku tidak pernah menjadi anggota. Kendati demikian, proposal tetap diajukan. Verifikasi pun kemudian dilakukan oleh tim hingga muncul rekomendasi bahwa kelompok yang dipimpin terdakwa memenuhi syarat sebagai penerima hibah. Hanya saja, nilai bantuan yang direkomendasikan tim verifikator dibatasi sebesar Rp 200 juta.

Meski tidak sesuai dengan RAB yang diajukan, hibah tetap diurus terdakwa. Sampai akhirnya dia mencairkan dana hibah itu di rekening kelompok ditemani bendahara. Dana itu kemudian dikuasai terdakwa. Dia juga mulai melakukan pembelian bibit sapi dan perbaikan kandang.

Dalam perjalanannya, terdakwa membuat Laporan Pertanggungjawaban dengan Nomor : 04/SBR/IV/2018 tertanggal 4 April 2018. Dalam laporan itu, intinya dia menegaskan bahwa dana hibah sebesar Rp 200 juta sudah dipergunakan sesuai Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) dengan melampirkan bukti-bukti pengeluaran dan sejenisnya.

Dugaan korupsi baru muncul setelah ada evaluasi lapangan yang dilakukan Bidang Peternakan Dinas Pertanian dan Pangan Badung pada 7 Agustus 2018. Hasil evaluasi mendapatkan kondisi sapi-sapi yang dimiliki kelompok ternak pimpinan terdakwa tidak sesuai dengan yang dilaporkan.

“Dalam laporan disebutkan 20 ekor namun yang ada hanya sepuluh ekor. Dari sepuluh ekor itu, dua diantaranya sesuai RAB dan memenuhi Standar Teknis Peternakan berupa Standard Nasional Indonesia (SNI) Bibit Sapi Bali. Sedangkan delapan ekor sisanya berupa anakan,” ungkap jaksa dalam sidang sebelumnya.

Selain itu, hasil evaluasi terhadap laporan juga mendapatkan adanya selisih nilai penggunaan dana pada perbaikan kandang sebesar 8,5 juta lebih. Padahal dalam laporan disebutkan perbaikan kandang menghabiskan biaya sebesar Rp 20 juta. “Sementara nilai riil perbaikan kandang sesuai bukti pengeluaran sebesar Rp 11,4 juta,” imbuh jaksa.

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/