29.2 C
Jakarta
30 April 2024, 1:35 AM WIB

Belajar Otodidak, Setelah Tekuni Mendadak Sembuh dari Segala Penyakit

Di era digital seperti saat ini, keberadaan keris masih tetap punya segmen sendiri bagi para peminatnya. Wesi aji ini pun tetap ditekuni para pelestarinya.

 

JULIADI, Denpasar

BENDA yang beragam corak yang bias dijumpai di seantero Nusantara ini salah satu warisan budaya yang khas.

Di Bali, terutama Denpasar, salah satu perajinnya (empu keris) adalah di prapen wesi aji milik Made Gede Suardika. 

Untuk ke tempat ini, setelah memasuki Gang Majegau di Jalan Kenyeri, Denpasar, papan nama  prapen wesi aji tertulis pada ukiran kayu yang terpasang di tembok rumah nomor 6.

Gonggongan anjing menyambut Jawa Pos Radar Bali. Memasuki prapen, tak terdengar suara tempaan di siang itu.

Tapi, suara burung perkutut yang terdengar merdu. Seakan pertanda kepada pemilik rumah bahwa ada seseorang yang datang bertamu.

Bahan dan alat untuk membuat keris berjejer rapi di prapen. Mulai dari palu, besi, tembaga, arang, tungku pembakar, dan alat lainnya.

Selain itu, di rumah yang berkonsep miniatur Bali terpasang foto-foto dan lukisan seseorang yang sedang menempa besi. Tepat di sudut ruangan bale bengong di dalam almari kaca berbagai keris hasil karya prapen wesi aji terlihat. 

Tidak lama menunggu di balai bengong rumah sambil melihat koleksi keris. Sekitar 15 menit Made Gede Suardika tiba.

“Hari ini tidak menempa besi untuk membuat keris. Tapi, di tanggal 31 Januari di saat bulan purnama. Ada ritual nyepuh keris di prapen kami. Silakan melihat upacaranya,” ucapnya.

Menurutnya, keris warisan budaya tradisional Nusantara yang memiliki begitu banyak peran dalam kehidupan manusia sejak era dahulu hingga kini.

Keris tidak hanya dimanfaatkan sebagai senjata. Namun, keris juga jadi benda berwasiat, kelengkapan upacara keagamaan, aksesori, hingga jadi penanda status sosial seseorang.

“Khusus Bali keris sangat lekat dengan beberapa upacara keagamaan dan masih digunakan hingga saat ini. Yakni saat upacara menikah,

membuat tempat ibadah (sanggah), setiap upacara membangun rumah, piodalan pura desa, dan lainnya,” terang pria berusia 45 tahun.

Suardika mengaku ketertarikannya membuat keris bukan tanpa alasan. Pertama warisan budaya tradisional yang harus tetap lestarikan.

Kemudian secara tidak langsung tanggung jawab moral sebagai penurus titah keturunan pande di keluarga.

“Di samping itu ada salah satu peristiwa hidup yang saya alami. Boleh dikatakan itulah yang merubah segala kehidupan saya dan keluarga,” ujar Suardika.

Peristiwa tahun 2000 silam dengan sakit yang Suardika derita yakni sakit jantung, ginjal, dan penyakit lainnya yang dia derita selama 3 tahun lebih. Kemudian aktivitas hidup sebagai pekerja pelaku pariwisata.

“Saya tidak sombong, jika tahun itu penuh dengan hidup glamor, hidup modern. Layaknya hidup seperti warga Eropa yang datang ke Bali,” ungkapnya.

Dituturkan, seiring berjalannya waktu ia mulai ditunjukkan dengan hal yang tidak biasa dialaminya. Petunjuk datang melalui mimpi, percaya atau tidak percaya. Kemudian lewat para sahabat.

 “Bahwa petunjuk itu menyatakan saya harus melanjutkan warisan tradisional keluarga sebagai pembuat keris. Secara silsilah keluarga saya keturunan ke-7 pembuat keris.

Karena keluarga kami dulu pembuat keris untuk raja Badung,” jelas pria yang fasih berbahasa Jepang, Belanda, dan Inggris ini. 

“Sejak tahun 2004 mulai saya menggeluti dunia keris,” akunya. “Sejak itu berangsur-angsur penyakit yang saya alami sembuh.

Keluarga dan masyarakat yang berada di lingkungan sekitar rumah pun heran dengan apa yang saya alami,” tambahnya.

Menurut Suardika, redupnya pande besi keluarga sejak kekalahan Raja Puputan Badung di tahun 1906. Sekitar 111 tahun yang lalu prapen ini tidak berfungsi untuk membuat keris.

Hingga saat ini mahir dan terampil sebagai pembuat keris dia belajar secara otodidak. Tanpa ada guru atau mentor yang mengajarkan.

Banyak peninggalan lontar ilmu menjadi seorang pande atau empu pembuat keris di keluarga. Tulisannya masih ejaan Jawa Kuno.

“Perlahan – lahan saya pelajari. Hingga mantra atau doa pembuatan keris saya kuasai. Sambil buat keris sambil belajar. Hingga mampu bertahan sampai saat ini,” tandas Suardika. 

Di era digital seperti saat ini, keberadaan keris masih tetap punya segmen sendiri bagi para peminatnya. Wesi aji ini pun tetap ditekuni para pelestarinya.

 

JULIADI, Denpasar

BENDA yang beragam corak yang bias dijumpai di seantero Nusantara ini salah satu warisan budaya yang khas.

Di Bali, terutama Denpasar, salah satu perajinnya (empu keris) adalah di prapen wesi aji milik Made Gede Suardika. 

Untuk ke tempat ini, setelah memasuki Gang Majegau di Jalan Kenyeri, Denpasar, papan nama  prapen wesi aji tertulis pada ukiran kayu yang terpasang di tembok rumah nomor 6.

Gonggongan anjing menyambut Jawa Pos Radar Bali. Memasuki prapen, tak terdengar suara tempaan di siang itu.

Tapi, suara burung perkutut yang terdengar merdu. Seakan pertanda kepada pemilik rumah bahwa ada seseorang yang datang bertamu.

Bahan dan alat untuk membuat keris berjejer rapi di prapen. Mulai dari palu, besi, tembaga, arang, tungku pembakar, dan alat lainnya.

Selain itu, di rumah yang berkonsep miniatur Bali terpasang foto-foto dan lukisan seseorang yang sedang menempa besi. Tepat di sudut ruangan bale bengong di dalam almari kaca berbagai keris hasil karya prapen wesi aji terlihat. 

Tidak lama menunggu di balai bengong rumah sambil melihat koleksi keris. Sekitar 15 menit Made Gede Suardika tiba.

“Hari ini tidak menempa besi untuk membuat keris. Tapi, di tanggal 31 Januari di saat bulan purnama. Ada ritual nyepuh keris di prapen kami. Silakan melihat upacaranya,” ucapnya.

Menurutnya, keris warisan budaya tradisional Nusantara yang memiliki begitu banyak peran dalam kehidupan manusia sejak era dahulu hingga kini.

Keris tidak hanya dimanfaatkan sebagai senjata. Namun, keris juga jadi benda berwasiat, kelengkapan upacara keagamaan, aksesori, hingga jadi penanda status sosial seseorang.

“Khusus Bali keris sangat lekat dengan beberapa upacara keagamaan dan masih digunakan hingga saat ini. Yakni saat upacara menikah,

membuat tempat ibadah (sanggah), setiap upacara membangun rumah, piodalan pura desa, dan lainnya,” terang pria berusia 45 tahun.

Suardika mengaku ketertarikannya membuat keris bukan tanpa alasan. Pertama warisan budaya tradisional yang harus tetap lestarikan.

Kemudian secara tidak langsung tanggung jawab moral sebagai penurus titah keturunan pande di keluarga.

“Di samping itu ada salah satu peristiwa hidup yang saya alami. Boleh dikatakan itulah yang merubah segala kehidupan saya dan keluarga,” ujar Suardika.

Peristiwa tahun 2000 silam dengan sakit yang Suardika derita yakni sakit jantung, ginjal, dan penyakit lainnya yang dia derita selama 3 tahun lebih. Kemudian aktivitas hidup sebagai pekerja pelaku pariwisata.

“Saya tidak sombong, jika tahun itu penuh dengan hidup glamor, hidup modern. Layaknya hidup seperti warga Eropa yang datang ke Bali,” ungkapnya.

Dituturkan, seiring berjalannya waktu ia mulai ditunjukkan dengan hal yang tidak biasa dialaminya. Petunjuk datang melalui mimpi, percaya atau tidak percaya. Kemudian lewat para sahabat.

 “Bahwa petunjuk itu menyatakan saya harus melanjutkan warisan tradisional keluarga sebagai pembuat keris. Secara silsilah keluarga saya keturunan ke-7 pembuat keris.

Karena keluarga kami dulu pembuat keris untuk raja Badung,” jelas pria yang fasih berbahasa Jepang, Belanda, dan Inggris ini. 

“Sejak tahun 2004 mulai saya menggeluti dunia keris,” akunya. “Sejak itu berangsur-angsur penyakit yang saya alami sembuh.

Keluarga dan masyarakat yang berada di lingkungan sekitar rumah pun heran dengan apa yang saya alami,” tambahnya.

Menurut Suardika, redupnya pande besi keluarga sejak kekalahan Raja Puputan Badung di tahun 1906. Sekitar 111 tahun yang lalu prapen ini tidak berfungsi untuk membuat keris.

Hingga saat ini mahir dan terampil sebagai pembuat keris dia belajar secara otodidak. Tanpa ada guru atau mentor yang mengajarkan.

Banyak peninggalan lontar ilmu menjadi seorang pande atau empu pembuat keris di keluarga. Tulisannya masih ejaan Jawa Kuno.

“Perlahan – lahan saya pelajari. Hingga mantra atau doa pembuatan keris saya kuasai. Sambil buat keris sambil belajar. Hingga mampu bertahan sampai saat ini,” tandas Suardika. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/