Salah satu Kartini tangguh, Ni Ketut Periksa, 70, warga Banjar Teges Kaja, Kelurahan/Kecamatan Gianyar, tetap bekerja dengan berjualan keliling kota Gianyar.
Walau punya tiga anak, Periksa tidak mau berpangku tangan. Dia memilih menghidupi diri berjualan makanan kukusan seperti pisang, jagung, kacang dan ketela.
IB INDRA PRASETIA, Gianyar
SEKILAS setelan Ni Ketut Periksa tidak jauh berbeda seperti Ibu Kita Kartini, mengenakan kebaya dan kamen.
Periksa juga berjuang untuk menghidupi dirinya. Di usianya yang senja, Periksa yang tinggal di Banjar Teges, di belakang Mako Polres Gianyar itu cukup sibuk.
Pagi hari dia ke pasar Gianyar membeli bahan jualan. Sampai di rumah, bahan yang dibeli berupa pisang, jagung, kacang dan ketela dikukus.
Setelah jadi, makanan itu diletakkan dalam nampan. Tepat pukul 15.00, mengenakan kebaya dan kamen nampan yang telah berisi makanan kukusan di-suun (dibawa pakai kepala) kemudian dibawa keliling kota Gianyar.
Di tangannya, ada sebuah tas berisi pisau untuk memotong ketela, lap, plastik dan perlengkapan jualan.
Periksa kemudian mulai menjajakan makanannya kepada orang-orang yang ditemuinya di jalanan.
Walau sudah sore, Periksa juga tetap masuk kantor, seperti masuk Polres Gianyar, Kodim, RS Sanjiwani. Apabila mentari mulai turun ke barat, Lapangan Astina menjadi sasarannya jualannya.
Periksa menjajakan makanan kepada yang ditemuinya sampai pukul 19.00 saja. Perempuan 70 tahun itu awalnya berjualan keliling sejak remaja.
Kemudian saat menikah dengan almarhum I Made Guna, 72, Periksa sempat berhenti berjualan. “Waktu suami masih ada, saya mengurus kakek (suami, red). Ketika kakek meninggal, saya jualan lagi,” ujar Periksa.
Dia mengaku kembali berjualan keliling sejak 3 tahun lalu, sejak ditinggal suami tercintanya. Saat ditinggal sang suami, Periksa mengaku sempat lemas.
Penyakit maag yang dideritanya kumat, dia harus diopname di Puskesmas selama 2 hari. “Waktu ini kepala saya pusing mau pingsan,
saya minta bantuan tetangga untuk mengantar ke Puskesmas. Katanya petugas saya kelelahan,” terangnya.
Kini, Periksa mulai tegar. Dia memilih jalan untuk berjualan makanan kukusan keliling kota. “Kalau jualan ketemu banyak orang. Kalau dagangan habis, bisa pakai bahan makanan di rumah,” ujarnya.
Barang dagangan Periksa sangat terangkai. Sebungkus kacang kulit kukus berisi sekitar 15 butir seharga Rp 1000.
Dua pisang seharga Rp 3000. Untuk dua ketela seharga Rp 4000 dan satu jagung seharga Rp 4000. “Kalau langganan saya kasih pisangnya Rp 2000, jagung bisa Rp 3000 kalau langganan,” ujarnya.
Taktik jualan Periksa pun cukup lihai. Pantauan Jawa Pos Radar Bali, pembelinya digiring supaya tidak meminta kembalian. Contohnya, ketika ada yang pembeli membawa uang Rp 5000.
Ketika pembeli itu hendak membeli pisang Rp 3000, maka akan diminta lagi mengambil dua bungkus kacang supaya genap Rp 5000.
Dalam sehari, apabila dagangannya ludes, maka keuntungan yang dia peroleh bisa mencapai Rp 50 ribu. “Modalnya saya ke pasar Rp 100 ribu. Modal makanan yang dibeli harus dikukus dulu,” jelasnya.
Adapun keuntungan itu, untuk laba kotor dia akan kembali membelikan bahan makanan untuk berjualan besok. Kemudian keuntungan bersih digunakan untuk kebutuhan dapur.
“Pakai beli beras, ikan,” ujarnya. Ditanya mengenai anak-anaknya, Periksa mengaku ada anak laki-laki yang tinggal di rumahnya, anak lainnya perempuan menikah keluar.
“Anak-anak bekerja, saya juga bekerja. Astungkara masih bisa jalan mencari uang sendiri,” jelasnya. Sebagai pedagang keliling yang sudah berusia senja, harapan Periksa tidak berlebihan.
“Yang penting diberi kesehatan. Mudah-mudahan terus diberi kesehatan, bisa jualan,” pintanya.